Tangerang ,Poskota,Net– Kebijakan domisili dalam Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun 2025 di SMA Negeri 6 Kota Tangerang kembali menuai perhatian, khususnya dari perspektif keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Sejumlah warga Karang Anyar yang secara geografis tinggal persis di sekitar lingkungan sekolah melaporkan bahwa anak-anak mereka tidak tercakup dalam sistem zonasi sekolah tersebut.
Dalam praktiknya, zonasi yang semestinya berbasis jarak dan domisili sesuai Permendikbud No. 1 Tahun 2021, justru memperlihatkan kecenderungan seleksi berbasis nilai akademik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu warga dengan inisial H mengatakatakan “Hal ini menunjukkan adanya kekeliruan dalam pemaknaan zonasi sebagai instrumen pemerataan akses pendidikan”ujarnya.
Lanjutanya “Ketika rumah berada dalam radius beberapa puluh meter dari sekolah negeri, namun tidak diakomodasi sistem, maka terdapat kontradiksi antara kebijakan dan kenyataan sosial”tegasnya.
Jelas kondisi ini berimplikasi pada terjadinya pengingkaran terhadap hak atas pendidikan yang dijamin secara konstitusional dalam Pasal 28C dan Pasal 31 UUD 1945, serta secara internasional melalui Pasal 13 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005.
Dalam teori keadilan distributif, pendidikan bukan hanya pelayanan dasar, tetapi juga alat mobilitas sosial. Ketika sistem akses terhadapnya dibatasi oleh mekanisme seleksi terselubung, maka negara gagal menghadirkan perlindungan terhadap hak-hak dasar warganya.
Apalagi jika mereka yang tidak terakomodasi adalah bagian dari komunitas yang secara historis dan geografis berada dalam kedekatan langsung dengan fasilitas publik tersebut.
Minimnya kejelasan parameter teknis sistem zonasi, ketiadaan informasi terbuka kepada publik, serta absennya kanal klarifikasi administratif semakin memperkuat anggapan bahwa kebijakan ini tidak cukup berpijak pada prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas tiga asas fundamental dalam tata kelola layanan publik.
Kebijakan yang tidak mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat, khususnya dalam akses pendidikan, mencerminkan adanya jurang antara norma hukum dan pelaksanaan administratif di tingkat lokal. Dalam konteks ini, keberadaan sekolah negeri justru terkesan menjauh dari fungsi sosialnya sebagai fasilitas publik yang terbuka, setara, dan adil.
(Fiqri)