15 TAHUN BEKERJA DI LN UNTUK MENGUBAH KEHIDUPAN IBUKU DI KAMPUNG. NAMUN, AKU MELIHAT STATUS BUDE LASTRI DI SANA ADA IBUKU YANG MAKAN TANPA LAUK? LALU KE MANA U4NQ DARIKU?
Napen : Nuineglasari
JAKARTA,poskota.net — Hati anak mana yang tak miris melihat ibunya hanya makan nasi tanpa lauk, padahal aku sudah transfer dua juta. Apa jangan-jangan uang yang aku kasih Bude belikan perhiasan? Sungguh keterlaluan kalau itu memang benar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Rumahku dengan Bude hanya berjarak beberapa meter saja, hanya terhalang dua rumah. Aku tak tahu apa yang terjadi hingga beliau bisa makan di rumah Bude. Selama ini, aku selalu percaya kepada kakak almarhum bapak. Beliau orangnya baik saat bapak masih ada, bahkan kalau ada sayuran atau kami belum makan Bude Lastri selalu memberi beras untuk segera di masak. Namun, apa mungkin itu semua hanya saat ada bapak saja?
Aku menyesal saat bapak tiada tak bisa pulang. Kondisiku tak memungkinkan pulang karena baru beberapa bulan di sini dan tidak bisa seenaknya minta ijin pulang. Sangat berbeda dengan di tanah air, selain dari segi ongkos yang terjangkau. Pun tidak akan memakan waktu lama jika minta ijin pulang.
Berbeda di negeri orang, ongkosnya mahal dan aku belum punya pegangan uang, masa kontrak masih lama jadi tidak bisa seenaknya.
Air mataku menetes mengingat itu, tetapi hati ini merasa bahagia karena bisa transfer tiap bulan untuk ibu dan adikku. Namun, sudah lima belas tahun tak berjumpa. Aku malah mendapat kejutan yang menyakitkan hati, entah sejak kapan beliau hanya makan tanpa lauk juga mengemis.
Setelah memutuskan untuk pulang, aku harus mengurus tiket dan sebagainya. Syukurlah majikan sangat baik, beliau yang mengurus tentang kepulanganku.
“Welcome tanah air,” ucapku dengan merentangkan tangan menghirup udara dalam-dalam. Setelah itu, Aku menyeret koper dan mencari tempat duduk di salah satu kursi sambil celingukan menunggu seorang yang akan menjemputku.
Di Jakarta, aku mempunyai teman yang sama-sama merantau dari kampung. Namun, bedanya aku ke luar negeri, tetapi dirinya hanya di dalam negeri. Aku sangat salut dengan temanku itu, dia menikah dengan orang kaya. Syukurlah, sudah menemukan jodohnya. Di usiaku yang menginjak tiga puluh tiga tahun belum menikah. Ya, saat masa remaja yang lain menghabiskan dengan bermain atau sekolah, aku malah kerja ke negeri orang.
Ponselku berbunyi membuyarkan lamunan. Kedua sudut bibirku terangkat sempurna saat melihat temanku menghubungi.
“Halo, kamu di mana?” ujarnya dengan lembut.
Aku tersenyum meskipun dia tak dapat melihatnya.
“Aku di dekat imigrasi, Han. Ke sini ya.”
Sambungan pun terputus, tangan ini bergerilya melihat media sosial. Mataku sangat terkejut melihat ibuku tengah mengemis lagi di lampu merah.
“Astaghfirullah,” gumamku tak terasa mata ini mengembun. Kedua tanganku terkepal dengan kuat.
Ini sudah keterlaluan, pasti Bude Lastri menyuruh ibuku mengemis. Kemarin saat telepon sangat yakin kalau beliau mengatakan itu. Namun, entah kenapa dirinya berkelit.
Hatiku kian gelisah entah kenapa Jihan sangat lama menjemput. Padahal, jarak bandara dari rumahnya lumayan dekat mungkin sekitar lima belas menit. Namun, sudah satu jam menunggu dirinya tak kunjung datang.
“Hei, maaf ya aku telat.” Suara seseorang mampu membuat hati ini tersenyum senang. Kami berpelukan, Jihan masih awet muda wajahnya tak ada yang berbeda sejak sepuluh tahun kami bertemu. Ya, dia pernah ke luar negeri tepatnya di daerah dekat aku bekerja. Saat itu, dirinya bulan madu sungguh sangat beruntung dirinya.
“Ayo, kok melamun.” Jihan menepuk pelan pipiku. Tak sengaja ke dua sudut bibirku terangkat tipis.
“Kamu tetap cantik, Han. Tak ada yang berubah denganmu. Sedangkan aku —”
“Ayo jangan sedih, ingat ‘kan dengan tujuanmu pulang?”
Aku tersenyum padanya. Ya, besok aku akan pulang bersama Jihan dan akan tinggal bersamanya untuk sementara. Kebetulan dirinya sudah lama tak pulang kampung.
“Makasih ya, kamu baik banget.” Aku pun memeluk dirinya.
Entah mengapa hati ini kian resah saat mengingat kampung, apalagi dengan kondisi ibuku. Jihan, sudah menyuruh seseorang untuk melihat kondisi ibuku dan adik di sana. Memang benar berita itu, aku tak sangka dengan kelakuan bude Lastri yang semena-mena.
“Persiapkan untuk besok, tenangkan hatimu. Jangan sampai gegabah agar tak terlalu cepat terbongkar kalau dirimu sudah pulang dan akan membalas perlakuan mereka.”
Aku mengangguk padanya, lalu mobil Jihan sudah melaju meninggalkan bandara. Mataku terpejam membayangkan hari-hari ibuku yang selalu mengemis, bahkan makan saja mereka kesusahan. Orang suruhan Jihan melapor kalau ibuku mendapatkan perlakuan buruk dari bude setelah bapak meninggal. Berarti selama belasan tahun ibuku mengemis?
Astaghfirullah, aku tak percaya ini. Lalu? Uang kiriman dariku di ke mana kan? Apa bude tak pernah memberi tahu kalau aku suka mengirimi mereka uang. Aku sudah menemukan jawaban selama belasan tahun tak pernah melihat wajah ibuku.
Ya, aku tahu sekarang jika kami melakukan video call maka wajah ibuku sangat terlihat lelah, pastinya nanti aku banyak tanya. Pintar sekali bude Lastri. Awas saja, setelah ini tak akan aku biarkan ibuku menderita.