Laporan : Rina
JAKARTA, poskota.net —- Bahkan beberapa film horor yang tayang di Indonesia menjadi viral dan jadi perbincangan hangat. Sebut saja film ‘KKN di Desa Penari’ dan ‘Vina: Sebelum 7 Hari’.
Menurut beberapa pengamat, tingginya antusiasme masyarakat Indonesia terhadap film produksi tanah air juga dipengaruhi oleh masifnya promosi lewat media sosial.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah seorang dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair) Igak Satrya Wibawa memberikan pendapatnya. Terutama terkait tingginya antusiasme masyarakat Indonesia terhadap film horor.
“Film-film yang bergenre horor maupun kriminal sebenarnya terbantu oleh aspek lain di luar narasi,” papar Igak seperti dikutip dari laman Unair, Minggu (30/6/2024).
Dia memberikan contoh mengenai pemasaran film horor di Indonesia. Sebagai contoh, film ‘KKN Desa Penari’ yang ceritanya sudah viral dulu di media sosial.
Bisa dibilang promosi yang masif juga memberikan efek positif, bahkan sebelum film itu dirilis. Igak menekankan bahwa film horor memiliki potensi yang lebih tinggi untuk diterima masyarakat Indonesia.
Hal tersebut dipengaruhi oleh jalan cerita yang relatif sederhana dan dorongan adrenalin. Menurutnya, masyarakat cenderung ingin mencari sensasi ‘kaget’ atau ‘takut’ yang dialami saat menonton film horor.
“Saya pribadi kurang setuju kalau film ‘Vina’ bisa membantu mengusut kasus kriminal seperti yang dihebohkan di berita-berita,” tandas Igak. Dia menambahkan, selesai atau tidaknya sebuah kasus itu bukan peran film. Tetapi kepolisian. Walaupun demikian, film ‘Vina’ bisa membantu mengangkat kembali isu kriminal yang belum terselesaikan.
Hal itu memang erat kaitannya sama viral culture di Indonesia ketika pemerintah cenderung bertindak kalau kasusnya viral lebih dulu. Di luar itu, film ‘Vina’ juga menjadi pembicaraan hangat terkait kasus kriminal yang diangkat.
Sejauh ini, ada dua pendapat mengenai isu tersebut. Pendapat pertama menganggap film ‘Vina’ sudah menerobos batas moralitas karena produsen film menjadikan kasus pemerkosaan sebagai ladang untuk meraup keuntungan. Pendapat kedua justru menganggap film ‘Vina’ sebagai film bergenre kriminal biasa yang tidak perlu dipermasalahkan.
“Sebenarnya ada banyak film yang mengangkat kasus kejahatan yang sudah rilis. Namun, problem dari film ‘Vina’ adalah adanya unsur eksploitasi di dalamnya. Batas-batas semacam itu yang kemudian menjadi kontroversi di masyarakat,” imbuh dia.
Sudah banyak film bertopik kisah nyata yang rilis di Indonesia, misalnya ‘Sum Kuning’, ‘Arie Hanggara’, dan ‘Marsinah’. Namun, ketiganya dirilis saat penggunaan media sosial tidak semasif sekarang.
Kondisi semacam itu tentu berbeda dengan ‘Vina’ maupun ‘KKN di Desa Penari’ yang dirilis saat penggunaan media sosial sudah masif. “Jelas media sosial memiliki peran besar dalam mengubah perilaku masyarakat.
Misalnya, antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap cerita horor di media sosial mendorong rumah produksi untuk menjadikannya film,” jelas Igak. Dia menambahkan, ke depannya, viral culture akan menjadi kontributor yang signifikan untuk memproduksi film di Indonesia.
#horror #banggafilmindonesia #infofilm